Banyumasku yang Usang



Sore itu guratan senja tak ragu-ragu pancarkan sinar keemasannya. Wajah ceria nan murung kudapati di sisi-sisi tempat duduk penungguan para penumpang kedatangan kereta. Ada perasaan bingung, juga was-was tengah menyelimuti perasaanku.

“mengapa waktu berputar begitu cepat?” teriak bhatinku. Aku yang sedari awal memilah-milah buku, bertemu dengan teman di sana sini, satu jam berikutnya, aku sudah dalam gerbong kereta.

“Sadarkah aku dengan yang aku jalani saat ini?” bisikan lirih dalam benakku kembali bicara.

Ku tinggalkan tanggung jawabku di Jogja, aku semaikan tanggung jawab baru yang segera aku emban selanjutnya. Kutuliskan dalam coretan status beranda WA ku “Nak, mama pergi dulu ya. Janji mama akan segera melahirkanmu sepulang mama dari luar kota” sapaan akrabku pada karya-karya yang masih dalam fikiran.

 Perjalanan ditempuh selama empat jam. Di dalam gerbong kereta udara serasa sejuk. Malik kawan akrabku bercerita tentang pengalamannya bersama Kelana yang datang dari Ibu Kota untuk melaksanakan tugas kerakyatan. Barang menghabiskan waktu dan melakukan pengabdian di masyarakat. Dan aku sembari membayangkan tugas-tugas pengabdianku aku berjanji pada anak-anakku yang aku tingalkan di rumahnya. Aku berjanji padanya, sabar ya Nak, setelah ini akan mama kebut.

Setiba di Purwokerto, mobil penjemputan telah menunggu kami. Salah satu personel yang menjemput kami bernama Fahrudin, biasa dipanggilnya adalah Udin. Dia kawan dekatku ketika aku melakukan kunjungan ke Kotanya Semarang. Di Semarang dia menemaniku keliling sekaligus nemenin dia melakukan kunjungan di kolega-kolega politiknya. Tetapi kali ini aku bertemu dengannya dalam kasus yang berbeda. Yakni advokasi konflik di Banyumas.
Usut punya usut, Udin telah menjadi coordinator dari acara advokasi kasus. Dalam kesibukannya, ia menceritakan aktivitas sehari-harinya untuk membantu calon yang akan mengikuti kontestasi pilkada yang dilaksanakan secara serentak di tahun 2018.

“Aktivitas keseharianku ya seperti ini Bel, advokasi di daerah konflik dan mengawal calon pemimpin daerah untuk dimenangkan dalam pilkada” jelasnya sembari menghisap cerutu di tangan kirinya.

“Oh gitu ya Din, semoga sukses” jawabku cuek, karena selain aku merasa kurang mengerti, dalam bhatinku juga merasa apa pentingnya buat aku tahu aktivitasnya.
Di lokasi Live In di Banyumas, selain wadahnya Udin menceritakan segala seluk beluk dan latar belakangnya, aku diminta olehnya selain menyelesaiakan tugas-tugas peliputan lapangan aku juga diminta untuk belajar menjadi lebih perempuan. Memasak dengan ibu-ibu yang kami tumpangi rumahnya, memberisuhkan rumah, dan menyiapkan kopi untuk teman-temanku yang masih terlelat di tidur panjangnya.

“Mas Manaf, ini kopinya diminum” aku hidangkan kopi di sampingnya yang tertidur di depan TV.“Siap Bel, sekarang lebih terkesan perempuannya ya kamu. "Iya itu si Udin kemaren yang bilang ke aku untuk menjadi lebih kalem dan manfaatin waktu advokasi ini untuk belajar menjadi lebih perempuan” jelasku dengan polos.

Waktu berjalan sebagaimana biasanya. Rapat paguyuban, kunjungan daerah terdampak, lobby ke polres sekitar untuk kelangsungan aksi advokasi mendatang, evaluasi, produksi berita hasil kunjungan. Begitu kiranya aktivitas keseharianku di sana.

Puncak advokasi yang dilakukan oleh Paguyuban ini adalah dengan menurunkan massa aksi 15.000 massa. Oleh sebab itu, untuk menggalangnya aktivitas sehari-hari adalah melakukan kunjungan ke lima kabupaten di Jawa Tengah, Brebes, Purbalingga, Cilacap, Purwokerto, dan Tegal.

Tidak jarang pula, Udin menyampaikan kegelisahannya, keletihannya, dan segala pengeluaran yang dilakukannya demi kelancaran aksi. Bagi aku yang masih ingusan. Mahasiswa yang masih minim berkomunikasi dengan konflik social, yang belum memahami agenda settingan, dan hanya memiliki uang saku pas-pasan. Aku mendengar cerita yang disampaikan oleh Udin hanya menjadi pendengar saja, sembari aku selipkan nasihat-nasihat moral untuk memperkuat kehidupannya.
Waktu bergulir begitu saja, ketika ia temukan masa senggangnya, dia mengajakku keluar rumah. Ia memintaku untuk menemaninya membeli bahan makanan di Pasar dan menambah persediaan obat. Di perjalanan, dia membelokan arah mobilnya dan membawaku ke kebun Teh daerah puncak lokasi sekitar. Aku kurang memami maksudnya dia.

“kok jadinya ke tempat ini Din, katanya mau beli obat”

“ya beli obatnya nanti setelah kita pulang dari sini Bel”

Mobil terparkir rapih, dan dia mulai mengajakku untuk naik ke puncak kebun Teh yang memakan waktu 10 menitan untuk mencapai puncaknya. Udara sejuk, ditambah suasana sedikit sepi, hanya orang berlalu Lalang melewati kita yang sedang terduduk di gubuk.

“Jadi gini Bel, niatanku mengajakmu kesini ada yang ingin aku sampaikan ke kamu”

“apa itu.” Celetukku sembari mengalihkan perhatian ke ibu-ibu pemetik daun teh.

“Lihat itu Din, para pekerja itu dibayar berapa ya sama bosnya”

“heh, jangan bahas yang lain dulu. Aku ingin kita membicarakan soal kita sekarang”

“yaudah. Sok” aku pinjam logatnya Sunda.

“aku ingin kita menikah Bel”
Seketika perutku langsung mules. Pingin ke kamar mandi aku tahan. Pingin kentut nanti takutnya bau. Aku mendadak menjadi ling lung dengan situasi seperti ini.

“kamu udah aku ceritakan tentang kehidupanku. Latar belakang keluargaku. Aktivitas keseharianku. Segalanya sudah aku sampaikan ke kamu Bel. Sekarang yang aku butuhkan hanya pendamping hidupku Bel. Dan aku memilihmu sedari awal ketika ketemu”

“bentar-bentar” aku mendadak menjadi gugup menjawabnya.

“aku belum pingin menikah Din. Kuliah saja belum lulus. Tanggung jawab organisasi juga belum kelar”

“aku siap menunggumu lulus Bel, tugas organisasi kita selesaikan bareng”

Dalam benakku, ini logika apaan. Tugas hidup dia saja sudah berat, mau membantuku menyelesaikan kerja-kerja organisasi. Mustahil rasanya.

“Aku akan segera ke rumahmu Bel. Dalam waktu dekat ini, aku sudah sering dikontak sama calon Bupati Bojonegoro. Sembari aku lakukan kerja, aku akan menyampaikan niatku untuk menikahimu ke orang tuamu”

“tapi kan,,,” sanggahku yang terpotong.

“udah, menurutlah saja. Aku hanya ingin membangun hidup bareng sama kamu”

“yaudah kita jalanin saja ya”

“gak bisa Bel, semua harus terarah dan jelas. Umurku sudah semakin merangkak. Tidak ada waktunya untuk main-main lagi”

“tapi kan aku masih karier. Aku masih pingin kesana kemari, aku masih pingin ikutan les, pingin keluar negeri”

“itu hanya keinginanmu Bel, itu tidak menjadi kebutuhanmu. Sesuai ceritamu kemaren, bapakmu akan segera pension. Dan kamu juga akan menjadi tulang punggung keluargamu. Janganlah egois penuhi keinginan dirimu sendiri.”

Aku terdiam. Perasaanku waktu itu hanya ingin pulang. Pulang ke rumah, pulang ke Jogja. Tapi aku hanya memendamkeinginan ini, karena sedari awal berangkat ke Banyumas aku tak membawa uang barang melebihi 50.000. karena duit di dalam dompet tidak mencukupi untuk pemesanan tiket, akhirnya hanya pasarah hidup di lokasi Live In.

“gimana Bel. Kita selesai urusan Banyumas, aku langsung menuju Jogja. Kebetulan senior organisasimu adalah kawan dekatku. Biar aku saja yang mengurusnya nanti”

Semilir buaian udara tak menjadikanku suasana membaik. Merasa tertekan dengan keadaan seperti itu.

“yaudah iya, ayo kita pulang. Beli obat untuk persediaan di rumah” pecahku dalam lamunannya.

“okey, sayang”

Kita langsung beranjak dari tempat duduk. Balik kembali ke tempat parker mobil. Tanpa aku duga, ia menggandeng tanganku sepanjang perjalanan. Aku tepiskan, tetapi usahaku tak sekuat genggamannya meremas jemari tanganku.

***

Lokasi live in begitu berbeda rasanya. Aku langsung menemui si Malik untuk menceritakan keadanku barusan. Aku sampaikan kondisiku dan aku hanya ingin pulang. Kelana yang mendengar omongan itu langsung memberi saran terhadapku.

“ngapain kamu pulang? Urusan juga belum kelar. Kau pulang hanya ingin cerita sama kawan-lkawanmu di Jogja sana atas kejadianmu sama Udin? Kau tak kasihan sama dia, jika kelak dia maju dalam politik dijatuhkan hanya karena wanita? Dia hanya butuh pasangan hidup. Niatan dia baik. Untuk menikahimu. Bukan mempermainkanmu. Berfikirlah ulang” jelas Lana.

Hari-hari aku jalani dengan berpasrah. Aku hanya menunggu dimana aku dapat keluar dari lingkaran hidup seperti ini. Advokasi berkedok politik. Tugas kerakyatan berkedok mencari istri. Pikirku aku hanya mencoba menjalankan apapun di depanku. Semua akan terjawab setelah aku keluar dari sini.

Di penghabisan Bulan Desember, Udin mendapati tugas lagi keluar kota. Sembari melakukanya, ia menarik diri bersama rombongannya untuk keluar dari Banyumas. Hal ini menjadi kabar gembira tersendiri bagi aku. Aku segera dapat menyelesaikan kerja organisasi dan selesaikan tanggung jawabku ke orang tua. Aku bersama Malik pulang ke Jogja. Nafas lega pun kembali aku rasakan.

***

Jogja tempatku singgah, tempatku rajut asa. Aku akan menyelesaikan apapun yang sudah aku mulai. Aku menganggap yang berlalu hanya belajar. Dering telpon dari Udin tak lagi aku hiraukan. Aku akan menikmati sisa-sisa waktuku bersama kawan-kawanku. Dan menyelesaikan apapun yang sudah aku mulai.

Azan maghrib berkumandang, pesan ibu pun tak pernah absen untuk mengingatkan sholat maghrib dan baca Al-Qur’an mbak. Begitu suara merdu yang selalu aku dengar.
Tetapi waktu itu tak berhenti begitu saja, Ibu menyampaikan dengan nada keseriusan. Ia menceritakan siang tadi ada lelaki asal Semarang main ke rumah. Menyampaikan niat baiknya untuk mengenaliku lebih mendalam.

Mendengar pernyataan Ibu nafasku terhenti seketika. “sebegitu nekatnya Udin untuk menikahiku” aku merasa heran dengan kenekatannya itu.

“Nak Udin sepertinya baik mbak, dia sudah mapan. Mbak segera selesaikan kuliahnya, mbak sudah ada yang menunggu"

“duh buuk, urusan Jogja belum kelar. Masih banyak hal yang harus mbak selesaikan di Jogja”

“bolak balik ngurusin urusan Jogja, kapan mau ngurusin dirimu sendiri mbak? Ibu bapak sudah tua. Teman-temanmu sudah menikah semua. Ibu ingin segera punya cucu dari kamu”

“njih buk, mbak selesaikan kuliah dulu ya”

Ruang gerakku sudah mulai terancam. Orang tua ku sudah membuka diri untuk Udin. Yang aku punya adalah kawan-kawanku di Jogja. Jika mereka tak mengharapkan keberadaanku lagi, lantas aku akan pergi kemana. Duniaku menjadi menyempit rasanya.

“bagaimana Bel, kamu mendapati kabar dari orang tuamu?” pesan dari Udin masuk dalam ponselku.

“ngapain kamu main ke rumah? Aku sudah bilang kan, aku belum siap menikah. Apa yang kita jalani ya dijalanin aja. Sembari aku mengenali mu lebih mendalam lagi”

“aku sudah serius Bel sama kamu. Sebentar lagi aku juga ke Jogja. Ketemu seniormu. Ada proyek sama dia.”

“yaudah, urusanmu kan sama dia. Aku tak rapat dulu ya. Jangan hubungi aku sebelum aku ngontekin kamu dulu”

“lah malah ditinggal. Jangan terlalu sibuk sama organisasi Bel. Selesaikan skripsimu saja di kos. Kasihan orang tuamu”

“ngapain bawa-bawa orang tuaku. Aktivitasku di Jogja itu urusanku”

“tuh kan, mulai kelihatan aslinya. Aku akan sampaikan semuanya ini ke orang tuamu.”

“yaudah iya, aku di kost aja wes. Skripsian terus, mumet ndassku.”

Aku mengira aktivitasku di Jogja akan menjadi lebih damai. Aku bisa lebih tenang hidup di luar peredaran dia. Ternyata semuanya tidak sesuai dengan bayanganku. Aku merasa hidup dalam ketertekanan. Kerja organisasi tidak boleh aku lakukan. Nonton teater tidak boleh. Keluar kost kesono kemari gak boleh. Hidupku seperti dalam pantauannya. Panopticon, begitu kiranya Foucoult mengistilahkan.

Dijejali berbagai buaian harta, berbagai janji dan gunung emas pun ia ingin persembahkan kepadaku. Dia hanya menginginkanku menjadi perempuan yang penurut untuk suaminya. Tak perlu lagi ada demo, perlawanan dan berbagai aktivitas diskusi. Semuanya seakan percuma aku lalui.

Hingga suatu saat, sisa-sisa kesadaranku akan cita dan hidup masa depan masih tersisa. Aku memintanya untuk menyekolahkan aku lanjut kuliah S2. Dia marah besar. Untuk biaya hidupku dan SPP kuuliahku dia yang menanggungnya memang. Tetapi jika aku berbicara tentang mimpi dan citaku dia langsung emosi tak terkendali.

“wong wedok iku tugase mung neng omah. Sebagai penopang ekonomi keluarga kui tugase wong lanang
“tapi kan kamu sadar sendiri kan, sedari awal aku memang gak siap menikah. Aku masih ingin mengejar mimpi”

“terus aja begitu. Aku akan bilang ke orang tuamu. Kamu beruntung apa kamu ini. Heh?”

Ungkapan untuk selalu membawa orang tuakudalam obrolan selalu menjadi ancaman tersendiri bagi aku. Di sini aku mengambil langkah. Sebelum keduluan olehnya, aku harus membentengi ibuku dan menjelaskan siapa dai sebenarnya.

“aku mohon ibu mengerti keadaan mbak, dia itu orang politisi. Nanti kalau menikah di luar banyak cewek cantic, sedang aku di rumah gak tahu apa-apa bisa saja aku dibuang Bu. Mengertilah”

Ucapan syukur dalam bhatinku. Ibuku sudah sedikit memahami keadaanku. Setidaknya dari sini aku sudah punyai tameng untuk menolak pernikahan ini.

“mas Udin, aku mohon sama kamu. Mengertilah keadaanku. Aku belum siap menikah denganmu. Banyak yang musti aku selesaikan dahulu sebelum pada akhirnya aku memilih menikah denganmu”

“ya dek, sholatlah dulu. Jangan lua selesaikan skripsimu dengan segera ya”

Tanpa aku balas pesan pendeknya, aku dapati telpon dari kawan organisasi. Aku diminta untuk perwakilan Jogja keluar kota untuk advokasi pada bidang hokum. Sudah menjadi kebiasaannya Udin, setiap sekian jam aku harus mengirimkan fotoku untuk mengetahui keberadaanku. Ketika aku sampaikan hal ini padanya. Seperti biasa dia menjadi marah besar. Emosi yang selalu menjadi panglimanya. Dan atas kejadian itu, aku diputus hubungan oleh dia. Merasa lega memang. Tetapi ungkapan dia yang beruntun yang tidak dapat kembali menikmati kelegaan itu.

“saya akan segera ke rumahmu, akan aku selesaikan ke orang tuamu. Dan aku samaikan semuanya aktivitasmu di Jogja. Tunggu aku setelah aku pulang dari Batam. Aku akan segera ke rumahmu”

Ungkapan ancaman yang selalu dilontarkan. Aku pun tak lantas mempercayai ungkapannya. Aku hubungi adeknya yang satu rumah dengannya. Aku tanyakan keberadaan kakaknya. Kata dia, dua hari lagi mas akan pulang mbak. Mainlah segera kesini.

Sembari aku menunggu kepulangannya, aku persiakan semua dana yang udah diberikan ke aku. Akan aku kembalikan dengan segera. Biar aku bebas dari ancaman. Dan juga biar hidupnya orang tuaku tenang.

Dua hari berikutnya aku datangi rumahnya tanpa sepengetahuannya. Dia kaget ketika bangun tidur aku sudah di ruang tamu dan ngobrol dengan adeknya.

“kok kamu di sini, kapan sampainya”

“barusan”

“tunggu di sini, aku mandi terus kita keluar”

Aku ikuti saja alur permainannya. Sembari menunggunya mandi, aku mendengarkan cerita dari adeknya. Bahwa advokasi di Banyumas dia mengalami kerugian hingga 81 juta. Orang yang diajak partner untuk menggulingkan proyek di daerah terdampak berbelot memihak pada salah satu peusahaan. Dikabarkan, kompensasi yang diperoleh atas kejadian itu lebih besar dari pada harus melawan untuk menggagalkan laju jalannya proyek.

Adeknya Udin juga menceritakan kalau kebiasaan Udin melakukan advokasi ini merupakan program-program dari LSM yang dia geluti. “jadi memang begitu mbak kegiatannya mas Udin tuh. Tapi kali ini aku merasa kasihan. Dia dikhianati oleh broker politiknya di Banyumas sana”.

Mendengar cerita adeknya aku merasa kasihan sebenarnya. Tapi aku mikirnya mau bagaiamana lagi, semua ini adalah agenda settingan. Aku menikah jika sudah siap. Aku tidak ingin mendapati ada unsur pemaksaan dan keterpaksaan.

“ayo Bel keluar”

Sapaan Udin membangunkan lamunanku. Sembari berangkat, aku pamitan pada adek Udin. “mbak pamit dulu ya, dijaga kesehatannya. Kalau ada apa-apa dengan organisasi sini berkabar saja. Biar nanti kawan-kawan Jogja membantu menyelesaikan kerja organisasi” tutupku.

Aku dibawa ke warung kopi oleh Udin. Di sana aku sampaikan ketidaksiapanku atas pernikahan. Dan di luar dugaanku, dia mulai mampu berdamai atas keadaan.

“seharusnya sedari awal kamu bilang kalau gak siap. Biar aku tak buang-buang waktu pergi ke rumahmu dan ke Jogja segala waktu itu”

Lah.. dalam bhatinku ini anak bagaiamana ya. Selang beberapa menit berikutnya mobil travel yang menjemputku untuk membawaku pulang Jogja sudah datang. Aku pamit pulang, dari sana hubungan kita berakhir dengan damai tentu dengan putus hubungan segala komunikasi.

Dalam bhatinku, Banyumas riwayatmu kini. Banyumasku yang telah usang. Banyumas yang memberi cerita usang.
Keesokan harinya Kelana menghubungiku, dan mengungkapkan semua yang sudah terjadi antara aku dan Udin.

 “sono rabi kono, wong mau dijadikan ibu caleg kok gak mau. Kurang apa Udin itu, mobil, rumah ada, penghasilan banyak, proyek dimana-mana. Minta apapun kau akan keturutan. 2019 dia akan nyaleg. Dan kamu diminta jadi pendampingnya, malah banyak alasan. Dasar cah ndeso sok pingin capai cita-cita yang tinggi” ucapnya dengan logat ibu kota. []

Comments