Oleh : M. Yusron
Globalisasi
memberi arti adanya penggerusan batas-batas teritori masyarakat bangsa dan
negara. Setiap masyarakat harus menerima secara lapang akan hadirnya segala
sesuatu dari luar dirinya. Dan diakui atau tidak, keterbukaan masyarakat
memberikan konsekuensi tertentu baginya, termasuk di dalamnya berupa
konsekuensi yang menunjangnya menuju ke kemajuan.
Sebagaimana yang
orang ketahui, bahwa dalam rangka mengakomodasi sekian kepentingan publik,
perlu menghadirkan suatu institusi sosial, yakni negara. Dalam konotasinya,
negara dikatakan pula sebagai tanah air – tempat hidup dan berpenghidupan
masyarakat di dalamnya. Sebab saking
perlu dan pentingnya, setiap masyrakat suatu bangsa memiliki hak untuk merdeka
sebagaimana formasi historisnya masing-masing.
Terlebih dengan
adanya globalisasi, kehadiran negara atau tanah air yang berdaulat dirasa
menempati posisi vital dan strategis. Sebab dalam praktiknya, keterbukaan yang
terbangun lintas atau trans nasional ini didapati kecenderungan distortif
destruktif bahkan eksploitatif bagi masyarakat bangsa negara. Begitu halnya
Indonesia. Sebagai institusi sosial, tanah dan air bagi rakyatnya, Indonesia
berhadapan langung dengan kepentingan diluar diri dan masyarakatnya, serta diri
dan masyarakatnya pula di sisi sebelah.
KH. Hasyim
Asyari sebagai salah satu cendekia (ulama) tanah air, pula memberikan
pandangannya melalui organisasi keagamaannya (Nahlatul Ulama) – seperti halnya
Soekarno dengan ‘Tri Sakti’nya. Dengan slogan nasionalismenya, KH. Hasyim
Asyari menyatakan bahwa cinta kepada tanah air adalah sebagian dari iman. Dari
sini kemudian membakar semangat jihad kalangan santri dalam melawan penjajahan
dan segala bentuk barunya pada masa-masa berikutnya. Dapat diketengarai benar,
begitu strategisnya dan vitalnya negara atau tanah air dalam pandangan KH.
Hasyim Asyari. Sampai kemudian dia juga menawarkan strategi taktik guna
mewujudkan negara yang berdaulat, adil dan makmur.
Memperkokoh Negara
Meski sebagai
organisasi keagamaan, dalam gagasan pedomannya, NU tidak kemudian membataskan
diri pada kegitan keagamaan semata. Diluar kegiatan keagamaan seminal
pengajian, bathsul masaail dan sebagainya, NU pula menggerakkan roda kerjanya
meluas kepada sendi-sendi ekonomi, sosial, budaya bahkan pendidikan umat. KH.
Hasyim Asyari sendiri dalam pandangannya, harus dibangun perekonomiannya –
tentunya dalam rangka mendaulatkan perekonomian negara pula. Nahdlotul Tujjar
(Perkumpulan Pedagang), sebagai organisasi metamorfosis sekaligus sayap NU
kiranya menjadi bukti betapa pandangan kebangsaan NU tidak terbatas dalam kotak
keagamaan. Apabila boleh didekatkan pada konspesi dan fungsi kedudukannya, bisa
jadi Nahdlotul Tujjar tersebut merupakan supporting system ekonomi negara.
Diluar agenda
pembangunan ekonomi umat, pandangan KH. Hasyim Asyari pula meluas kepada
pendidikan politik kaum santri. Dimana dalam bentuk kegiatannya dibawah badan
yang bernamakan Taswirul Afkar. Hari ini dengan segala perkembangan jaman yang
mengalir deras, NU pula segera mensikapinya dengan melahirkan
universiteit-unveriteit. Hal ini tentunya bukan dalam rangka megah-megahan.
Bertolak pada gagasan nasionalisme maupun kebangsaan KH. Hasyim Asyari, hal itu
bisa jadi suatu kebutuhan mendesak, di tengah situasi gempuran wahabisme,
pragmatisme, neokolonialisme bahkan pula terorisme yang semakin gencar.
Wawasan
kebangsaan Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asyari tentunya tidak ada yang meragukan
lagi. Bahwa semangat keindonesiaannya, telah melampaui logika ketuhanan. Justru
beliau telah berhasil membumikan semangat ketuhanan dan nilai islam, ke dalam
ide dan tindakannya. Bangsa yang kokoh, negara yang berdaulat, masyarakat
sejahtera damai sentosa, menjadi tema besar pandangan beliau dalam memandang
kebangsaan Indonesia Raya.
Penulis
adalah kader Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).
Comments
Post a Comment