Harga Rumah Jogja tak Seistimewa Kotanya




Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial dia juga dibenturkan dengan kebutuhan sosial selain yang menjadi perhatian kebutuhan pribadi. Untuk kebutuhan sosialnya, manusia melakukan interaksi dengan sesamanya, pun untuk pemenuhan kebutuhan pribadi, manusia dituntut untuk melakukan kerja sebagai wujud bahwa ia pun ada karena mampu mengaktualisasikan dirinya melalui pekerjaannya. Dengan bekerja, dia mampu meraih mimpinya menjadi manusia yang berkehidupan sejahtera. Tetapi dengan catatan jika hak-haknya sebagai pekerja atau buruh telah terpenuhi.

Sebelum pembahasan melangkah ke hak-hak pekerja atau buruh, penulis akan memerkuat argumen tulisan dengan UUD 1945 sebagai dasar negara. Dalam UU pasal 28H tersebut menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bhatin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Secara eksplisit UU tersebut menyatakan perolehan tempat tinggal setiap orang untuk mencapai hidup sejahtera, selain kebutuhan sandang dan pangannya terpenuhi sebagai kebutuhan basigh manusia.

Sedangkan sebagai pekerja, telah diatur pula untuk hak-haknya dalam UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 dalam pasal 1 ayat 31, yang berbunyi “Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat”.

Dari kedua peraturan di atas, sudah jelas bahwa keberadaan buruh atau pekerja di Indonesia idealnya mengalami kesejahteraan, karena ia telah memperoleh perlindungan. Akan tetapi, realitas jarang sekali berjalan beriringan dengan idealitas. Seperti halnya dengan keadaan buruh di Yogyakarta. 

Yogyakarta sebagai kota Istimewa karena memiliki cagar budaya yang kental dan roh pengetauan yang begitu kuat, ternyata tidak seistimewa kotanya dalam bidang pengupahan. Berdasarkan data yang dilansir Databoks, keadaan pengupahan di Yogyakarta terendah dibandingkan 33 provinsi lainnya di tahun 2017 setelah Jawa Tengah. Pemerintah Daerah Yogyakarta menetapkan bahwa UMP 2017 sebesar Rp 1.337.645 per bulan naik 8,08 persen dari UMP 2016. Empat provinsi di Pulau Jawa mendominasi UMP terendah pada 2017. Sementara provinsi yang mencatat kenaikan UMP tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, yakni sebesar 10 persen menjadi Rp 1.631.245 per bulan. Sedangkan yang mengalami kenaikan terendah adalah Nusa Tenggara Barat, yaitu 7,02 persen menjadi Rp 1.525.000 per bulan.

Kita mengambil fokus ke wilayah Yogyakarta, untuk UMK tahun 2017 di wilayah kota Yogyakarta  sebesar Rp 1.572.200. Sedangkan untuk daerah Sleman, UMK-nya naik menjadi Rp 1.448.385, Bantul Rp 1.404.760, Kulonprogo Rp 1.373.600, dan Gunungkidul Rp 1.337.650. Dengan upah yang semurah itu, memiliki rumah ibarat mimpi di siang bolong bagi kaum buruh di DIY. (Kumparan)

Nah, persoalan menjadi lebih rumit kembali dengan keadaan upah buruh Jogja yang miris seperti yang sudah dipaparkan di atas, ternyata tidak berbanding lurus dengan harga tanah dan rumah di DIY. Harga yang telah berlaku di kota Istimewa (katanya) ini berbanding terbalik antara upah buruh dengan harga tanah dan rumahnya. Seperti data yang dilansir dari Kumparan, di wilayah Giwangan, Kota Yogya, harga rumah dengan luas bangunan (LB) 62 dan luas tanah 60 meter persegi mencapai Rp916 juta. Sedangkan untuk tipe lebih besar 75/76 menembus Rp1,1 miliar. Di kawasan Wirobrajan rumah tipe 77/82 meter persegiharganya mencapai Rp 1,2 miliar, di daerah Sorogenen untuk tipe rumah 86/126 harganya sampai Rp1,3 miliar. Di daerah Sleman, tepatnya jalan Magelang KM 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta. Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter persegi dijual dengan harga Rp220 juta. Sementara itu, kawasan Bantul, harganya relatif jauh lebih murah dibanding dengan di Sleman atau Kota Yogyakarta. Misalnya, perumahan di kawasan Kasongan, dengan tipe rumah lantai satu tipe 54/122 dijual dengan harga Rp464 juta, tipe 45/117 dijual dengan harga Rp408 juta dan tipe lebih besar lagi 45/211 dijual dengan harga Rp591 juta.[1]

Dengan demikian, kita akan sering menjumpai buruh Jogja kebanyakan tidak memiliki hak atas rumahnya sendiri. Maksudnya di sini dia bertempat tinggal di kost, kontrak, atau masih menumpang di rumah orang tuanya. Menurut hemat penulis, keadaan title Istimewa kota Yogyakarta tidak seharusnya disanjung-sanjungkan, sebab kita masih sering menemui ketimpangan dalam hal ini wilayah pengupahan buruh Jogja, sehingga ia tak mampu memiliki tanah dan rumahnya sendiri. Dan sini, secara tidak langsung Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak melaksanakan Undang-Undang yang menjadi dasar negara dan telah melanggar hakekat hidup manusia, karena kurang terpenuhinya kebutuhan akan papan dari buruh atau pekerja Jogja. []

Comments

  1. Biar pddk Jogyakarta tdk usah jadi buruh & berusaha dlm ekonomi kreatif lbh cocok, utk buruh lbh cocok
    mereka yg berasal dr pantura

    ReplyDelete
  2. Biar pddk Jogyakarta tdk usah jadi buruh & berusaha dlm ekonomi kreatif lbh cocok, utk buruh lbh cocok
    mereka yg berasal dr pantura

    ReplyDelete

Post a Comment