Kamu, Alam dan Buku

Malam itu kita bisa menikmati malam yang disakralkan oleh mereka yang memiliki pasangan. Malam dimana kita bisa menikmati waktu berdua. Malam dimana kita yang tunggal menjadi genap. Yah, malam minggu! Di mana surga begitu kental terasa di benak hati kita. Di saat tanganmu mengandeng pundakku. Di saat pelukanmu merengkuh dekap dan lekat di diriku. Di situlah dunia menjadi milikku. Milik kita. 

Alam, tempat di mana kita kembali. Tempat dimana kita mampu mencurahkan segalanya persoalan di dunia. Di mana dia bersikap jujur dan tak pernah berbohong sedikit pun. Waktu dimana aku selalu merindukan masa-masa seperti itu. Yah, bersamamu dan bersama alam. Itu sudah membuatku seperti manusia yang beruntung. Manusia yang sangat bahagia. Walaupun masih ada satu yang kurang, apa itu? Buku! 

Sembari berbicara dengan alam, bersamamu dalam pelukan disertai buku untuk menulis dan mencurahkan pikiran adalah situasi dimana waktu yang aku dambakan. Kenikmatan dunia yang luar biasa jika mampu merengkuh ketiga sumber inspirasi jiwa ini. Itu kamu, alam dan buku. 

Ketika kehangatan tengah menyelubungi kita di Sabtu malam (24/12) di Pantai Depok Parangtritis Yogyakarta. Di situlah berujar ungkapan yang membuat tenang, lantas menghancurkan. 

"Aku selalu ingin bersamamu," ungkapku.

"Tidak bisa. Kita tidak akan bersatu, jangan selalu berkata begitu," sanggahmu.

"Mengapa kamu berkata begitu?," tanyaku polos.

"Jangan kembali bertanya untuk mengurai jawaban yang menyakitkan," jelasmu.

Situasi kembali normal, dingin dan diam. 

Sudah menjadi obrolan yang cukup basi jika kita memang tidak mungkin bersatu. Dari kondisi keluarga dan keyakinan memecahkan kita. "Tapi lantas kedua hal itu akan melepaskan keyakinan kita dan kekuatan cinta kita,?" tanyaku dalam hati.

Saya selalu terjebak dalam kenikmatan dunia, dalam simbolisme yang bersifat kering kerontang sekaligus kosong. Saya sering terjebak dalam terang sekalipun kegelapan yang aku cari. Saya sering terjebak bersatu denganmu sekalipun kita tak bisa satu kelak. Lantas, mengapa kita sampai sekarang tetap jalan dan menghabiskan waktu bersama? Apakah kita saling takut untuk menjadi sendiri? Apakah kita takut untuk merasa sepi dan berlubang dalam hati? 

Saya mampu untuk pergi dan melupakanmu. Terhitung Oktober akhir hingga sekarang kita kembali satu. Dan kita selalu terjebak dengan pertanyaan awal, "Akankah kita bisa satu?" Tidak! begitulah kenyataannya. 

Saya merasa lelah terkadang untuk mempertahankan keadaan yang janggal ini. Kita masing-masing masih menjadi muda. Sudah sepatutnya kita menghabiskan waktu dengan hal-hal yang saya kira prospeknya jelas. Belajar. Demikian kiranya paham yang ada di benakku. 

Silakan kamu sebelum menjadi Anda dalam hidupku bersibuk dengan kerjaanmu. Jika memang tak bersatu anggap saja tak berjodoh.

Comments