Hukum untuk Ditawar, bukan Untuk Ditegakkan!



Sebelum mengedit kancah yang dikembalikan oleh redaksi, aku mau menuliskan peristiwa tadi yang menurut aku masuk dalam sejarah yang kelam di hidup ini. it's oke untuk menetralkan mood yang sempat down tadi pagi memang perlu dituliskan.

Berawal dari semalem yang rencana awal hendak nonton Sekaten bareng-bareng bersama kamerad Andi, Lugas, Unik, Ulfa dan Isma tetapi gagal gara-gara hujan tak kunjung berhenti, awet seperti diberi formalin. akhirnya Unik yang waktu itu sedang di kostku dia memilih menginap di kost. kami nonton film hingga pada akhirnya kami berdua tertidur pulas menjadi dua manusia yang ditonton oleh film itu sendiri.

Jum'at Pagi (18/12) Unik bergegas pulang, pun aku juga mengantarkan dia ke kostnya. awal perjalanan aman karena melewati jalan deket rel kereta api yang saat itu kami sama-sama tidak mengenakan helm. setiba nganterin dia di warnet tempat dia bekerja, firasatku bilang "ahh pulang lewat jalan yang tadi aja, karena saat ini pagi pukul 07.33 pasti polisi sedang beroperasi". kemudian aku putar arah menuju jalan ke rel kereta api, tetapi hal itu tak jadi aku lakukan karena waktu itu aku melihat Unik sedang jalan kaki, tanpa berfikir panjang aku antarlah kameradku yang satu ini ke kostnya.

Biasalah, manusia yang masih pragmatis ini setelah nganterin Unik di kostnya akhirnya memilih jalan yang lebih dekat ke kostnya dari pada harus muter lewat rel. saat itu awal keraguan yang pertama dalam hati kemudian hilang karena udah biasa melanggar lalu lintas tanpa memakai helm aku PD saja melewati jalan pertigaan revolusi UIN.

Eits, ternyata tak terlihat dari kejauhan polisi itu telah menghadang aku di jalan. dengan terpaksa aku tidak mampu larikan diri dan harus mengikuti proses hukum yang waktu itu memang akulah yang salah karena tidak tartib lalu lintas.

Setelah di kantor posnya polisi, ia meminta surat-surat motor yang aku miliki. tetapi yang kebetulan waktu itu aku tidak membawa dompet yang di dalamnya ada surat-surat motor maka aku menelepon si Nisa Parampa untuk meminta bantuan nganterin aku ngambil helm dan surat-surat otomatis dengan uang denda yang harus aku bayar.

Berkat bantuan kawan saya Anisatul Ummah, aku mampu memenuhi panggilan polisi dan menunjukkan surat-surat yang ia pinta. setelah aku menunjukkan surat-surat seperti SIM, STNK dan KTP, terjadilah proses tawar menawar uang denda yang waktu itu aku didenda 200 ribu. akhirnya berkat wajahku yang memelas ini aku hanya didenda 100 ribu. tetapi yang jadi pertanyaanku mengapa polisi itu memberi denda 100 ribu dengan caranya berbisik di telingaku. emang kenapa? aku mikirnya.. haha

Di sini aku sedikit kecewa, polisi yang awal katanya sejak penilangan pertama tidak menerima alasan apapun tetapi kok mau saja dendanya ditawar 100 ribu? apa ini yang dinamakan penegak hukum? kalau begini caranya bukankah polisi juga melakukan pelanggaran hukum?

Aku tidak ingin munafik ya, siapa sih yang gak senang dapet penawaran denda yang lebih murah. aku rasa setiap orang pasti akan menyukainya, tetapi  kekecewaan ya tetap kecewa, tidak bisa ditawar memakai materi apapun itu.

Kalau begini aku jadi keinget sesepuh Kyai Karl Marx tentang berbagai teorinya terkait kapitalisme. apakah benar to, kapitalisme telah menggerogoti kehidupan orang sampai ke akar-akarnya? Hingga polisi yang seharusnya menjadi penegak hukum malah ia juga melanggar hukum karena perkara satu, "uang".

Aku tidak meragukan lagi ya, uang 100 ribu yang seharusnya masuk dalam negara pasti masuk ke kantongnya polisi sendiri. mengapa aku tak meragukan itu,? ya karena sejak awal polisi itu sudah melakukan pelanggaran, pastinaya hal yang sifatnya prinsipil itu juga dilanggar.

Comments